Sabtu, 18 Juni 2011

Pesawat Kepresidenan Rp 499 Miliar

JakartaDi tengah kritik sejumlah kalangan agar pembelian pesawat kepresidenan ditunda, pemerintah tetap akan membeli pesawat kepresidenan jenis Boeing Jet 2 seharga US$58 juta atau Rp 494 miliar. Rencana pembelian itu telah dianggarkan  dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, dan telah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, pemerintah masih melakukan negosiasi harga pesawat kepresidenan itu. Menurut Sudi, harga pesawat masih bisa turun. “Harganya bisa turun lagi sebanyak US$4 juta,” kata Sudi di Bandara Halim Perdanakusumah,  kemarin.
Menurutnya, proses pembelian pesawat kepresidenan itu sudah berlangsung sesuai mekanisme yang berlaku. Negosiasi harga pun dilakukan sesuai permintaan DPR yang menginginkan adanya efisiensi harga. Dalam APBN 2011, uang muka untuk pembelian pesawat tersebut dialokasikan sebesar Rp200 miliar.

Sudi mengungkapkan, pesawat kepresidenan itu akan tiba di tanah air pada akhir tahun 2013. Sebetulnya pemerintah telah lama merencanakan pembelian pesawat kepresidenan. Namun rencana tersebut tak kunjung direalisasikan menyusul banyaknya pro dan kontra pembelian.

Pemerintah beralasan, pembelian pesawat kepresidenan akan lebih menghemat anggaran, dibanding harus menyewa pesawat setiap kali presiden melakukan kunjungan ke luar kota atau ke luar negeri. Pada tahun 2010 misalnya, biaya sewa pesawat untuk operasional presiden per tahunnya mencapai Rp180 miliar.

Dalam lima tahun, Rp900 miliar anggaran negara habis hanya untuk menyewa pesawat. Sementara bila membeli pesawat sendiri, harganya tidak semahal itu. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR akhirnya menyetujui pembelian pesawat kepresidenan. 

Soal pembelian pesawat itu, dibenarkan  Menteri Keuangan (Menkeu) Agus Martowardoyo.
Menurutnya,  pemerintah telah menyiapkan down paymen (DP)  pembelian, dan disetujui DPR sebesar Rp200 miliar dalam APBN 2011. Namun, rupanya masih  ada suara penolakan rencana tersebut di Senayan.
"Sebaiknya ditunda. Mengingat belum ada kebutuhan mendesak dan kondisi ekonomi masyarakat yang masih sangat memprihatinkan," kata anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo di DPR,  kemarin.
Menurut dia, keputusan membeli pesawat kepresidenan saat ini tak akan membuat anggaran perjalanan Presiden menjadi lebih efisien. "Sebaliknya, anggaran untuk itu bisa saja membengkak karena kehadiran pesawat dimaksud otomatis menimbulkan konsekuensi pembiayaan yang tidak kecil," ujarnya.
Menurutnya, belum ada urgensinya sama sekali pengadaan pesawat kepresidenan sekarang ini. Kalau DPR menunda pembangunan gedung baru, kata dia, presiden pun sebaiknya menunda pembelian pesawat kepresidenan itu. "Biar sama," ujarnya. "Bukankah Presiden sendiri yang mengatakan agar lembaga negara lakukan langkah efisiensi dengan mengenyampingkan kebutuhan yang tidak mendesak yang tidak menjadi prioritas."

Bambang mengkalkulasi, biaya perjalanan presiden tidak otomatis menjadi lebih efisien karena adanya pesawat itu. Kalau dengan sewa pesawat menghabiskan anggaran sampai Rp900 miliar per tahun, anggaran sebesar ini tidak otomatis bisa menurun hanya dengan membeli pesawat seharga Rp 500 miliar lebih.

"Para pembantu presiden jangan menyederhanakan masalah," ujarnya.

Menurut dia, begitu pesawat itu didatangkan, tetap saja ada konsekuensi biaya reguler yang tidak kecil. Pertama, kantor presiden harus membentuk unit kerja baru untuk mengelola dan merawat pesawat itu. 
Kemudian dibutuhkan hanggar dengan segala tetek bengeknya, Lalu harus ada pilot dan kru khusus untuk pesawat itu. Setiap kali bepergian, kantor kepresidenan pun harus beli avtur.
Bambang menilai, banyak cara yang bisa ditempuh untuk menekan biaya perjalanan presiden. Misalnya, kebiasaan membawa rombongan besar tidak diteruskan lagi. "Sehingga negara tidak perlu merogoh kocek Rp900 miliar untuk lima tahun hanya untuk membiayai perjalanan presiden," ujarnya.
Wakil Ketua DPR Pramono Anung mempertanyakan urgensi pembelian pesawat kepresidenan saat ini. Dia menyadari, Indonesia negara besar perlu ada simbol kebanggaan kepala negara memiliki pesawat. "Tapi, jadi pertanyaan besar ketika kondisi masyarakat kurang menggembirakan, apakah pembelian ini penting," katanya.
Menurutnya, Perdana Menteri Singapura selalu menggunakan pesawat komersial dan dilabeli pesawat kenegaraan. Dia menyarankan, presiden bisa meniru hal itu. "Yang penting, di luar Garuda di tulis RI 1, toh lebih murah," katanya.
Soal persetujuan DPR, politisi PDIP itu menilai persetujuan DPR diberikan periode sebelumnya. Sehingga, tidak bisa otomatis di carry out ke periode sekarang. Tapi, Menkeu menyatakan tinggal DP? "Alasan bisa dibuat-buat," ujarnya.

Pramono menuturkan, sebenarnya juga belum ada persetujuan dari DPR saat ini. Meskipun rencana pembelian sudah dirancang DPR periode 2004-2009.
"Belum, siapa yang setuju. Ya pembahasan itu pernah ada tapi persetujuan mata anggaran baru tidak bisa begitu saja dan itu harus disepakati dalam rapat selanjutnya. Seperti pembangunan gedung baru DPR tidak bisa carryover," terangnya.
Karenanya ia menyarankan SBY menggunakan pesawat komersil atau carter komersil dengan menyeratakan logo RI 1. Sedangkan alasan membeli lebih murah, menurut Pram, terlalu dibuat-buat.
"Pengalaman-pengalaman mengikuti konferensi tingkat tinggi kita selalu gunakan komersial. Yang penting kalau keluar menggunakan tanda RI 1. Kalau alasannya lebih hemat itu dibuat-buat," tandasnya.

Artikel Terkait



1 komentar:

follow sukses gan,,silahkan follow n comment back ya di http://blogku--inspirasku.blogspot.com

Posting Komentar

Silahkan Isikan Komentar anda karena komentar anda bisa membantu saya !!!